Senin, 29 Desember 2014

Filsafat Pendidikan Islam "Pendidikan Berkarakter"



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Sekarang ini pendidikan berkarakter memang menjadi isu utama dalam dunia pendidikan. Hal ini terutama didorong oleh sejumlah tantangan yang semakin gencar memengaruhi kehidupan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Diantara tantangan ini adalah perkembangan trend diabad ke 21 yang ditandia oleh meningkatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang mengubah wajah dan kehidupan manusia. Era ini disebut juga era global dimana arus modal, informasi dan budaya telah melintasi batas negara dan budaya. Dalam era semacam ini masyarakat kita semakin dituntut untuk bisa memberdayakan diri dan kreatif agar mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain tanpa harus kehilangan budaya dan jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya, beragama, dan bermartabat.
Oleh karena itu, membangun pendidikan berkarakter adalah langkah besar yang harus ditempuh oleh bangsa ini agar masyarakatnya tidak tenggelam dalam suatu anomie (hilangnya nilai-nilai) dan alienasi (keterasingan dari dirinya sendiri dan masyarakat) yang dapat menyebabkan kekacauan atau terombang-ambing laksana buih di lautan.  
Pendidikan berkarakter ini harus diterapkan dalam pendidikan khususnya jenjang pendidikan SD,SMP,dan SMA. Karena dijenjang sekolahan inilah nilai-nilai berkarakter agama masih kurang.
2.      Rumusan Masalah
a.    Pengertian pendidikan berkarakter
b.    Pendidikan sebagai Pembentukan Karakter
c.    Ruang Lingkup dan Sumber Pendidikan Karakter dalam Islam
d.   Tujuan Pendidikan Berkarakter Islam
3.      Tujuan
a.    Memahami arti atau maksud dari pendidikan berkarakter
b.    Mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari ada atau tidaknya pendidikan berkarakter
c.    Mengetahui prinsip dan tujuan pendidikan berkarakter islam
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Berkarakter
Secara historis, pendidikan berkarakter merupakan misi utama para Nabi. Bahkan Nabi Muhammad sejak awal kenabianya merumuskan tugasnya dengan pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter (akhlak).
بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia

Dalam hadis lain beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
 Hal ini menunjukan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat menciptakan peradaban dunia. Namun pada sisi lain dengan ungkapan menyempurnakan karakter manusia, sebetulnya setiap individu manusia telah memiliki karakter tertentu namun yang belum disempurnakan.
Sejalan dengan wawasan historis ini, maka pendidikan karakter berarti menanamkan karakter tertentu sekaligus memberikan humus atau lingkungan kondusif agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani kehidupan. Disini pendidikan karakter akan dianggap berhasil bila seorang murid atau peserta didik tidak hanya memahami pendidikan nilai sebagai bentuk pengetahuan, namun juga menjadikanya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup pada nilai-nilai tersebut.
Setelah mengetahui pengertian pendidikan berkarakter, sekarang kita baru mengetahui betapa pentingnya pendidikan berkarakter untuk anak-anak di jenjang sekolah kususnya yang kurang tersentuh oleh pendidikan agama seperti SD, SMP, dan SMA. Karena hanya disekolah lah pendidikan karakter dapat diterima oleh anak-anak selain dari lingkungan keluarga dan masyarakat. 



B.     Pendidikan sebagai Pembentukan Karakter
Pembentukan karakter adalah bagian integral dari orientasi pendidikan islam. Tujuanya adalah membentuk kepribadian seorang agar berperilaku jujur, baik, bertanggung jawab, fair, menghormati dan menghargai orang lain, adil, tidak diskriminatif, egaliter, pekerja keras, dan karakter-karakter unggul lainya. Pendidikan sebagai pembentukan karakter semacam ini tidak bisa dilakukan dengan cara mengenali atau menghafal jenis-jenis karakter manusia yang dianggap baik begitu saja, tetapi harus lewat pembiasaan dan praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Ada dua istilah yang menunjukan penekanan mendasar pada aspek pembentukan karakter dalam pendidikan, yaitu ta’dib dan tarbiyyah. Ta’dib berarti usaha untuk menciptakan situasi yang mendukung dan mendorong anak didik untuk berperilaku baik dan sopan sesuai yang diharapkan. Sementar tarbiyyah berarti merawat potensi-potensi baik yang ada didalam diri manusia agar tumbuh dan berkembang. Hal ini berarti pendidikan islam meyakini bahwa pada dasarnya setiap peserta didik memiliki bibit potensi kebenaran dan kebaikan, dan proses pendidikan merupakan fasilitas agar peserta didik tersebut menyadari dan menemukan potensi tersebut dalam dirinya dan lalu mengembangkanya. Seorang guru bertugas merawat dan menjaga karakter kebaikan tersebut muncul serta mendorongnya agar menjadi aktual dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pengertian dasar pendidikan dalam islam tersebut (ta’dib dan tarbiyyah), maka bisa digaris bawahi sejumlah prinsip-prinsip penting dalam pendidikan yang tujuan utamanya adalah membangun karakter peserta didik.
1)      Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi oleh dua aspek, yakni kebenaran yang ada pada dirinya dan dorongan atau kondisi eksternal yang mempengaruhi kesadaranya. Oleh karena itu, pendidikan yang bertujuan menumbuhkan karakter peserta didik perlu sekaligus mengenalkan kosep “yang baik” dan menciptakan lingkungan yang mengkondisikan peserta didik mencapai pemenuhan karakter utamanya. Penciptaan konteks (komunitas belajar) yang baik dan  pemahaman akan konteks peserta didik ( latar belakang dan perkembangan peserta didik) menjadi bagian penting dalam membangun karakter.
2)      Konsep pendidikan dalam rangka membangun karakter peserta didik sangat menekankan pentingnya kesatuan antara keyakinan, perkataan dan tindakan. Hal ini paralel dengan keyakinan dalam islam yang menganut kesatuan antara roh, jiwa dan badan. Ketiganya membentuk suatu entitas ontologis manusia yang tak bisa direduksi kedalam bagian-bagianya. Prinsip ini sekaligus memperlihatkan pentingnya konsistensi manusia dalam tindak kehidupan sosial sehari-hari.
3)      Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif dalam dirinya. Sebagaimana disinggung diatas, setiap manusia memiliki modal dasar, potensi dan kapasitas dalam dirinya. Aktualisasi dari kesadaran ini dalam pendidikan adalah merawat dan memupuk kapasitas ini sehingga memungkinkan karakter positif ini memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup tanpa tergeser oleh godaan-godaan sementara yang hilir mudik dari pengaruh-pengaruh budaya asing dan informasi.
4)      Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia ulul albab yang tidak hanya memiliki kesadaran diri tetapi juga kesadaran untuk terus mengembangkan diri, memperhatikan masalah lingkunganya, dan memperbaiki kehidupan sesuai dengan pengetahuan dan karakter yang dimiliki. Manusia semacam ini menurut Heru Prakosa, adalah manusia yang memiliki competence, compassion, consence. Manusia yang competence adalah manusia yang unggul dan menghargai proses. Termasuk didalamnya adalah menghindari kesuksesan yang diperoleh dengan cara instan. Perilaku KKN yang selama ini kita kritik pada dasarnya adalah sikap pengingkaran terhadap pentingnya proses dalam pembelajaran hidup. Adapun manusia yang memiliki compassion adalah manusia yang peduli terhadap sesamanya, sementara consence adalah manusia yang sadar akan tujuan hidupnya.
5)      Karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukanya berdasarkan pilihan bebasnya. Dalam hidup sehari-hari, setiap keputusan yang diambil seseorang mencerminkan kualitas seseorang dimata orang lain. Seorang individu yang mampu membuat piliahan yang tepat sebetulnya memperlihatkan kualitas karakter yang dimilikinya.
Dalam sejarah pendidikan islam pada awal-awal perjuangan kemerdekaan, karakter semacam ini terutama dimiliki oleh komunitas pesantren yang tidak mudah tergoda oleh pemerintah kolonial yang hendak menjajah baik secar fisik maupun pengetahuan. Karena itu pembentukan mental atau karakter pribadi yang kuat seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan islam ditengah arus globalisasi budaya, politik, ekonomi yang kian mengamcam akhir-akhir ini.

C.     Ruang Lingkup dan Sumber Pendidikan Karakter dalam Islam
Konsep pendidikan islam pada dasarnya meliputi semua kehidupan manusia.Ia tidak hanya menenkankan dan mementingkan aspek-aspek keagamaan seperti akidah (keyakinan), ritual (ibadah), dan akhlak saja, melainkan aspek-aspek kehidupan lain seperti bidang sosial, politik, kebudayaan, kesehatan, sejarah, eksakta, dan lainya. Pendidikan islam juga meliputi aspek jasmani, rohani, mental dan spiritual, serta aspek dunia dan ukhrowi.
Cakupan ruang lingkup pendidikan islam yang luas dan menyeluruh ini dikarenakan sumber pembelajaran tidak terbatas pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist serta tradisi kesejarahan islam. Melainkan juga realitas kehidupan dunia yang profan sekaligus manifestasi ayat-ayat kauniyah yang diciptakan allah.
Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu pertamanya dengan perintah membaca  (QS.Al-‘Alaq ayat 1) 
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan
,
Ayat tersebut merupakan intruksi Allah secara tak langsung merujuk pada maful bih (objek) tertentu. Tetapi berkaitan langsung dengan nama Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Ini artinya, semesta kehidupan ini harus dijadikan bahan bacaan wajib dalam proses pembelajaran sekaligus bahan penyelidikan ilmiah pendidikan islam.
Selain itu, ruang lingkup pendidikan islam juga ditentukan oleh dua fungsi primordial manusia yang meliputi fungsi peribadatan sebagai hamba Allah dan fungsi kekhalifahan (khalifah filardh) yang diberi tugas memelihara, memanfaatkan dan melestarikan alam semesta demi kemaslahatan manusia.
Konsekuensinya, sumber pembelajaran dalam pendidikan karakter tidak hanya terbatas pada buku teks wajib sebagaimana yang selama ini menjadi patokan pengajaran di sekolah-sekolah, melainkan juga menggunakan resource learning (sumber pembelajaran) yang ada disekitar lingkungan peserta didik. Umpamanya, sekolah yang berdiri ditengah perkampungan masyarakat tani bisa dan harus menggunakan kehidupan lingkungan sekitar sebagai sumber pembelajaran. Sawah, ladang, sistem irigasi, kesulitan petani, mahalnya harga pupuk, dan turunya hasil panen bisa menjadi bahan pembelajaran di kelas. Sumber-sumber pembelajaran lokal semacam ini diantaranya akan memupuk peserta didik untuk menemukan karakter budaya bangsanya sendiri dalam dirinya.

D.    Tujuan Pendidikan Berkarakter Islam
Pendidikan islam menyadari sepenuhnya bahwa, selain menganggap dirinya sebagai proses, ia memiliki tujuan-tujuan fundamental. Secara umum pendidikan seharusnya mempersiapkan manusia agar memiliki  kepribadian yang kuat dan kecakapan dalam hidup ditengah aneka perubahan dan aneka kemungkinan perkembangan zaman.
Dalam pelaksanaanya, tujuan pendidikan karakter dalam islam ini harus didasarkan pada dua asas hakikat primordial manusia: yakni sebagai pribadi spiritualsekaligus pribadi sosial
Pertama-tama manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman dalam QS. Adz-Dzariyaat ayat 56, yanag berbunyi
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Menyembah kepada Allah berarti penyerahan diri secara total hamba Allah yang telah menciptakan seluruh alam semesta. Termasuk kenyataan dunia global ini adalah kuasa cipta-nya.
Setiap manusia di dunia dikaruniai akal dan kehendak apakah akan menggunakan globalisasi untuk keburukan manusia atau memanfaatkanya untuk kemaslahatan kehidupan bersama dan mempertebal ketakwaan. Bagi umat islam sikap yang kedua ini dilandasi oleh kesadaran bahwa tidak ada yang lebih besar dan lebih kuasa selain Allah. Dan hanya Allah yang layak kita sembah karena kebesaran dan keagungan-Nya serta kekuatan yang diberikan kepada manusia untuk menghadapi tantangan dunia. Sikap penyerahan diri total ini adalah karakter manusia adalah karakter sebagai “pribadi spiritual”. Menjadi “pribadi spiritual” adalah karakter manusia muslim yang tak mudah berputus asa dan apalagi menyerah.
Dalam tradisi islam, selain sebagai pribadi spiritual,manusia sesungguhnya adalah pribadi sosial karena fungsinya sebagai khalifah (pemimpin) manusia di bumi. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30, Allah memberikan jabatan khalifah kepada manusia ini melalui kisah Nabi Adam.
Π( lah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Kisah ini memperlithatkan bahwa tugas kekhalifahan diberikan Allah kepada  makhluk yang tidak  sekedar fasih melafalkan pujian ke pada-Nya seperti halnya malaikat. Makhluk malaikat memang diciptakan untuk tugas demikian. Tetapi manusua diciptakan untuk suatu tugas baik  yang lebih besar, yakni mengemban dua tugas sekaligus, baik sebagai hamba maupun sebagai agen yang melakukan praksis sosial di bumi. Tugas manusia adalah mengumandangkan ayat-ayat Allah, nilai-nilai kebenaran dimuka ”bumi manusia”.
Dalam islam, fungsi ini masih dilengkapi oleh kehadiaran islam sendiri sebagai rahmat bagi seluruh semesta (rahmatan lil alamin) sehingga tugas primoedial manusia adalah mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai dan penuh rahmat bagi semua. Dengan kata lain, sebagai khalifah fil ardh, manusia sesungguhnya adalah subjek berkesalehan sosial.
Pada dasarnya, tujuan pendidikan islam tidak terlapas dari prinsip-prinsip pendidikan yanng bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini ada lima prinsip dalam pendidikan islam,yakni:
1)   Prinsip integrasi (tauhid). Prinsi ini memandang adamya wujud kesatuan dunia-akhirat. Oleh karena pendidikan akan meletakan porsi yang seimbang untuk mencapai kebahagian dunia sekaligus di akhirat.
2)   Prinsip keseimbangan. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi. Keseimbangan yang proporsional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara ilmu murni dan ilmu terapan, antara teori dan praktik, dan anrata nilai yang menyangkut akidah, syariah, dan akhlak.
3)   Prinsip persamaan dan pembebasan. Pendidikan islam adalah suatu upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai-niali tauhid yang bersih dan mulia. Manusia dengan pendidikan diharakan bisa terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan kejumudan.
4)   Prinsip kontinuitas dan berkelanjutan. Prinsip ini mendasari konsep pendidikan sepanjang hayat (long life education). Sebab, dalam islam belajar adalah kewajiban yang tidak boleh berhenti. Seruan membaca dalam Al-Qur’an merupakan perintah yang tak kebal batas waktu, demikian juga tak kenal batas objek kajian. Dengan menuntut ilmu secara terus-menerus dan mencakup aspek yang luas, maka murid akan tumbuh kesadaran diri dan lingkunganya. Dan yang lebih penting adalah kesadaran akan kebesaran Tuhan.
5)   Prinsip kemaslahatan dan keutamaan. Prinsip ini dalah turunan dari konsep tauhid, keseimbangan, persamaan, dan kebebasan. Pendidikan islam harus berprinsip bahwa ilmu harus dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia, dalam praksis sosial untuk kemaslahatan hidup manusia dan keutamaanya.
Melalui prinsip-prinsip inilah sesungguhnya kita bisa menurunkan rumusan mengenai tujuan pendidikan islam yang berorientasi pada pembentukan karakter peserta didik.

E.     Akibat Pendidikan tanpa Berkarakter Islam
Secara historis pengaruh kolonialisme harus diakui ikut mempengaruhi watak pendidikan kita. Ini terutama terlihat dari segi pendidikan kita yang hanya mengutamakan prestasi material dan keunggulan intelektual yang mendorong peserta didik hanyut dalam sikap hidup yang serba materialistik dan individualistik. Ditambah lagi gaya hidup yang serba kebarat-baratan yang dipengaruhi oleh globalilasi budaya sekarang ini semakin dalam mengikis habis karakter pendidikan yang mandiri dan berpegang teguh pada nilai-nilai budaya dan ajaran agama sendiri.
Menurut Mochtar Buchori, runtuhnya sistem pendidikan di Indonesia mulai terjadi pada tahun 1963 ketika kebebasan berfikir dalam lembaga pendidikan sedikit-demi sedikit digerogoti oleh birokrasi pendidikan yang waktu itu mulai berwatak politis. Sejak 1978 muncul suasana yang restriktif, dimana birokrasi pendidikan menentukan segala-galanya dalam kehidupan pendidikan di Indonesia. Sejak saat itu para guru dan petugas-petugas pendidikan lainya merosot derajatnya, menjadi sakedar pelaksana dari segala sesuatu yang telah diputuskan oleh birokrasi. Guru sebagai tokoh yang mampu melihat ke depan  sedikit demi sedikit hilang dari kehidupan sekolah. Yang muncul kemudian, tegas Buchori , adalah guru yang bingung, guru yang ketakutan, guru yang dangan mudah dapat digiring oleh kekuatan politik..” Sedikit demi sedikit sistem pendidikan telah kehilangan wataknya sebagai sesuatu kekuatan kultural (cultural force). Sistem pendidikan kita mengalami degradasi.
Padahal jauh sebelumnya bangsa ini memiliki sistem pendidikan yang bisa dibanggakan. Pada zaman kolonial, kita pernah melahirkan suatu sistem pendidikan yang memiliki nasionalisme dan patriotisme  yang tinggi. Begitu pula zaman jepang, sistem revolusi fisik sampai tahun lima puluhan dimana sistem pendidiksn kita memiliki ketahanan, keluwesan, dan pengabdian yang tinggi. Tak mengherankan bila pada periode ini melahirkan tokoh-tokoh nasional seperti Dr. Sutomo, Bung Karno,dan  Bung Hatta yang memiliki ketangguhan, samangat dan keberanian. 
Masa-masa dekade dalam dunia pendidikan kita berlangsung sedemikian dalam di masa pemerintahan Orde Baru yang bahkan berlanjut terus hingga masa reformasi. Ini ditandai oleh batapa gelisahnya para pakar pendidikan kita yang menyasikan program pendidikan nasional selama ini tak mampu membentuk karakter para peserta didik. Salah satu gejala lemahnya pendidikan karakter di lingkungan kita adalah banyak siswa yang tergoda oleh gaya hidup hura-hura. Biasanya mereka terpengaruh oleh gambaran sikap dan perilaku sosial di media masa baik TV, majalah maupun internet lalu secara latah menirunya dalam praktek kehidupan sehari-hari, seolah-olah citra dalam media masa itu menggambarkan perilaku yang baik dan beradab. Padahal belum tentu perilaku tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang pantas ditiru. Contoh lainya adalah contek-mencontek dan tawuran antar pelajar. Dalam skala yang besar, perilaku semacam ini pada akhirnya akan ikut membentuk karakter siswa dalam pergaulan hidup di masa-masa mendatang saat mereka memasuki dunia sosial yang lebih nyata.
Belakangan ini semakin nyata bahwa pendidikan yang tanpa karakter ini menghasilkan pribadi-pribadi terpelajar namun perilakunya seperti kaum primitif yang tak mengenal peradaban. Untuk mengejar kesejahteraan material, orang-orang terdidik ini justru memperolehnya dengan jalan korupsi dan manipulasi. Banyak pejabat publik yang seharusnya melayani masyarakat justru tersangkut dalam kasus penggelapan dana yang diperuntukan bagi publik. Banyak politisi yang seharusnya menyalurkan aspirasi rakyat justru memanipulasi suara rakyat. Banyak pula para pendidik yang mengajar atau mubaligh yang berceramah namun hanya diperuntukan bagi orang lain bukan untuk menata dirinya sendiri.
Demikian pula para intelektual yang dilahirkan di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi-perguruan tinggi. Semakin banyak intelektual yang telah kehilangan fungsi keintelektualisanya. Ini karena, mereka telah terjebak pada perilaku yang berfikir dan bertindak demi kepentingan pribadi dan  kelompok. Kaum intelektual yang merupakan hati nurani bangsa dan membaktikan ilmu dan hidupnya untuk berfikir demi kepentingan umum, justru sebaliknya, mereka yang berfikir keras untuk melanggengkan kekuasaanya atau berkorupsi sebesar-besarnya demi kenikmatan pribadi bukan lagi sebagai intelektual.
Fakta yang terjadi di negeri ini, orang yang kebetulan memiliki posisi di pemerintahan atau lembaga lain tidak sedikit yang telah kehilangan intelektualitasnya. Sering mereka mengingkari makna akuntabilitas, yakni tanpa mau mengembalikan kepercayaan yang diberikan rakyat untuk kebaikan rakyat. Kepercayaan rakyat justru digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Di sisi yang lain, banyak diantara komponen bangsa yang telah terjebak dalam sekat-sekat parokial (kewilayahan) dan kepentingan sempit lainya. Berbagai konflik pun muncul untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Pendek kata, pendidikan tanpa karakter telah melahirkan pribadi-pribadi yang hipokrit
Dalam hadis ini, menjelaskan bahwa apabila dalam  pendidikan berkarakter  ke empat pilar ini dapat berjalan maka dunia ini akan aman.
قال النبي صلى الله عليه وسلم: قوام الد نيا بأربعة اشياء: او لها بعلم العلماء والثانى بعدل الأ مراء والثالث بسخاوة الأغنياء والرابع بدعوة الفقراء ولو لا دعاء الفقراء لهلك الأ غنياء ولوعدل الأمراء لأ كل بعض الناس بعضا كما يأ كل الذنب الغنم (الحديث)
Artinya:“Berdiri tegaknya dunia dengan empat hal: 1) dengan ilmu para ulama (guru) 2) dengan adilnya pemimpin, 3) dengan murahnya agniya (orang kaya), 4) dengan do’anya orang fakir. Jika bukan / tidak karena ilmunya ulama (guru) maka rusaklah orang-orang bodoh, dan jika bukan karena murahnya orang kaya maka rusaklah orang-orang fakir, dan jika bukan karena do’anya orang fakir maka rusaklah orang kaya, dan jika tidak dengan adilnya pemimpin maka manusia satu sama lain akan saling tindas dan binasakan / saling terkam, seperti serigala menerkam kambing”.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Pendidikan berkarakter berarti sangat penting karena menanamkan karakter tertentu sekaligus memberikan humus atau lingkungan kondusif agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani kehidupan. Disini pendidikan karakter akan dianggap berhasil bila seorang murid atau peserta didik tidak hanya memahami pendidikan nilai sebagai bentuk pengetahuan, namun juga menjadikanya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup pada nilai-nilai tersebut.
                 Pada dasarnya, tujuan pendidikan berkarakter islam tidak terlapas dari prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist.
     Salah satu gejala lemahnya pendidikan karakter di lingkungan kita adalah banyak siswa yang tergoda oleh gaya hidup hura-hura. Biasanya mereka terpengaruh oleh gambaran sikap dan perilaku sosial di media masa baik TV, majalah maupun internet lalu secara latah menirunya dalam praktek kehidupan sehari-hari, seolah-olah citra dalam media masa itu menggambarkan perilaku yang baik dan beradab. Padahal belum tentu perilaku tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang pantas ditiru. Contoh lainya adalah contek-mencontek dan tawuran antar pelajar. Dalam skala yang besar, perilaku semacam ini pada akhirnya akan ikut membentuk karakter siswa dalam pergaulan hidup di masa-masa mendatang saat mereka memasuki dunia sosial yang lebih nyata.
Pendek kata, pendidikan tanpa karakter telah melahirkan pribadi-pribadi yang hipokrit.









Daftar Pustaka

Tim Direktorat Pendidikan Madrasah. Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam. Direktorat Pendidikan Madrasah Kementrian Agama 2010.
Warid, Khan, Achmad, M. Ag. 2002. Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: CV. Adipura.
An-Nahlawy, abd. Rahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Jakarta : CV Diponegoro.
Al-Attas, Sayyed Naquib. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam.  Bandung : Mizan.
Arif, Arifudin. 2008.  Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura










Tidak ada komentar:

Posting Komentar