BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sekarang ini pendidikan berkarakter memang menjadi isu utama dalam
dunia pendidikan. Hal ini terutama didorong oleh sejumlah tantangan yang
semakin gencar memengaruhi kehidupan masyarakat dalam hidup berbangsa dan
bernegara.
Diantara tantangan ini adalah perkembangan trend diabad ke 21 yang
ditandia oleh meningkatnya kemajuan ilmu dan teknologi yang mengubah wajah dan
kehidupan manusia. Era ini disebut juga era global dimana arus modal, informasi
dan budaya telah melintasi batas negara dan budaya. Dalam era semacam ini
masyarakat kita semakin dituntut untuk bisa memberdayakan diri dan kreatif agar
mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain tanpa harus kehilangan budaya dan
jati dirinya sebagai bangsa yang berbudaya, beragama, dan bermartabat.
Oleh karena itu, membangun pendidikan berkarakter adalah langkah
besar yang harus ditempuh oleh bangsa ini agar masyarakatnya tidak tenggelam
dalam suatu anomie (hilangnya nilai-nilai) dan alienasi (keterasingan dari
dirinya sendiri dan masyarakat) yang dapat menyebabkan kekacauan atau terombang-ambing
laksana buih di lautan.
Pendidikan berkarakter ini harus diterapkan dalam pendidikan
khususnya jenjang pendidikan SD,SMP,dan SMA. Karena dijenjang sekolahan inilah
nilai-nilai berkarakter agama masih kurang.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Pengertian
pendidikan berkarakter
b.
Pendidikan
sebagai Pembentukan Karakter
c.
Ruang Lingkup dan Sumber Pendidikan
Karakter dalam Islam
d.
Tujuan Pendidikan Berkarakter Islam
3.
Tujuan
a.
Memahami
arti atau maksud dari pendidikan berkarakter
b.
Mengetahui
pengaruh yang ditimbulkan dari ada atau tidaknya pendidikan berkarakter
c.
Mengetahui
prinsip dan tujuan pendidikan berkarakter islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Berkarakter
Secara historis, pendidikan berkarakter merupakan misi utama para
Nabi. Bahkan Nabi Muhammad sejak awal kenabianya merumuskan tugasnya dengan
pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter
(akhlak).
بُعِثْتُ
ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ
aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
Dalam hadis lain beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Hal ini menunjukan bahwa
pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama
yang dapat menciptakan peradaban dunia. Namun pada sisi lain dengan ungkapan
menyempurnakan karakter manusia, sebetulnya setiap individu manusia telah
memiliki karakter tertentu namun yang belum disempurnakan.
Sejalan dengan wawasan historis ini, maka pendidikan karakter
berarti menanamkan karakter tertentu sekaligus memberikan humus atau lingkungan
kondusif agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat
menjalani kehidupan. Disini pendidikan karakter akan dianggap berhasil bila
seorang murid atau peserta didik tidak hanya memahami pendidikan nilai sebagai
bentuk pengetahuan, namun juga menjadikanya sebagai bagian dari hidup dan
secara sadar hidup pada nilai-nilai tersebut.
Setelah mengetahui pengertian pendidikan berkarakter, sekarang kita
baru mengetahui betapa pentingnya pendidikan berkarakter untuk anak-anak di
jenjang sekolah kususnya yang kurang tersentuh oleh pendidikan agama seperti
SD, SMP, dan SMA. Karena hanya disekolah lah pendidikan karakter dapat diterima
oleh anak-anak selain dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
B.
Pendidikan
sebagai Pembentukan Karakter
Pembentukan
karakter adalah bagian integral dari orientasi pendidikan islam. Tujuanya
adalah membentuk kepribadian seorang agar berperilaku jujur, baik, bertanggung
jawab, fair, menghormati dan menghargai orang lain, adil, tidak diskriminatif,
egaliter, pekerja keras, dan karakter-karakter unggul lainya. Pendidikan
sebagai pembentukan karakter semacam ini tidak bisa dilakukan dengan cara
mengenali atau menghafal jenis-jenis karakter manusia yang dianggap baik begitu
saja, tetapi harus lewat pembiasaan dan praktek nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Ada
dua istilah yang menunjukan penekanan mendasar pada aspek pembentukan karakter
dalam pendidikan, yaitu ta’dib dan tarbiyyah. Ta’dib berarti
usaha untuk menciptakan situasi yang mendukung dan mendorong anak didik untuk
berperilaku baik dan sopan sesuai yang diharapkan. Sementar tarbiyyah berarti
merawat potensi-potensi baik yang ada didalam diri manusia agar tumbuh dan
berkembang. Hal ini berarti pendidikan islam meyakini bahwa pada dasarnya
setiap peserta didik memiliki bibit potensi kebenaran dan kebaikan, dan proses
pendidikan merupakan fasilitas agar peserta didik tersebut menyadari dan
menemukan potensi tersebut dalam dirinya dan lalu mengembangkanya. Seorang guru
bertugas merawat dan menjaga karakter kebaikan tersebut muncul serta
mendorongnya agar menjadi aktual dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
pengertian dasar pendidikan dalam islam tersebut (ta’dib dan tarbiyyah), maka
bisa digaris bawahi sejumlah prinsip-prinsip penting dalam pendidikan yang
tujuan utamanya adalah membangun karakter peserta didik.
1)
Manusia
adalah makhluk yang dipengaruhi oleh dua aspek, yakni kebenaran yang ada pada
dirinya dan dorongan atau kondisi eksternal yang mempengaruhi kesadaranya. Oleh
karena itu, pendidikan yang bertujuan menumbuhkan karakter peserta didik perlu
sekaligus mengenalkan kosep “yang baik” dan menciptakan lingkungan yang
mengkondisikan peserta didik mencapai pemenuhan karakter utamanya. Penciptaan
konteks (komunitas belajar) yang baik dan
pemahaman akan konteks peserta didik ( latar belakang dan perkembangan
peserta didik) menjadi bagian penting dalam membangun karakter.
2)
Konsep
pendidikan dalam rangka membangun karakter peserta didik sangat menekankan
pentingnya kesatuan antara keyakinan, perkataan dan tindakan. Hal ini paralel
dengan keyakinan dalam islam yang menganut kesatuan antara roh, jiwa dan badan.
Ketiganya membentuk suatu entitas ontologis manusia yang tak bisa direduksi
kedalam bagian-bagianya. Prinsip ini sekaligus memperlihatkan pentingnya
konsistensi manusia dalam tindak kehidupan sosial sehari-hari.
3)
Pendidikan
karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk secara
ikhlas mengutamakan karakter positif dalam dirinya. Sebagaimana disinggung
diatas, setiap manusia memiliki modal dasar, potensi dan kapasitas dalam
dirinya. Aktualisasi dari kesadaran ini dalam pendidikan adalah merawat dan
memupuk kapasitas ini sehingga memungkinkan karakter positif ini memiliki daya
tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup tanpa tergeser oleh godaan-godaan
sementara yang hilir mudik dari pengaruh-pengaruh budaya asing dan informasi.
4)
Pendidikan
karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia ulul albab yang
tidak hanya memiliki kesadaran diri tetapi juga kesadaran untuk terus
mengembangkan diri, memperhatikan masalah lingkunganya, dan memperbaiki
kehidupan sesuai dengan pengetahuan dan karakter yang dimiliki. Manusia semacam
ini menurut Heru Prakosa, adalah manusia yang memiliki competence,
compassion, consence. Manusia yang competence adalah manusia yang unggul
dan menghargai proses. Termasuk didalamnya adalah menghindari kesuksesan yang
diperoleh dengan cara instan. Perilaku KKN yang selama ini kita kritik pada
dasarnya adalah sikap pengingkaran terhadap pentingnya proses dalam
pembelajaran hidup. Adapun manusia yang memiliki compassion adalah manusia yang
peduli terhadap sesamanya, sementara consence adalah manusia yang sadar akan
tujuan hidupnya.
5)
Karakter
seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukanya berdasarkan pilihan bebasnya.
Dalam hidup sehari-hari, setiap keputusan yang diambil seseorang mencerminkan
kualitas seseorang dimata orang lain. Seorang individu yang mampu membuat
piliahan yang tepat sebetulnya memperlihatkan kualitas karakter yang
dimilikinya.
Dalam sejarah pendidikan islam pada awal-awal perjuangan
kemerdekaan, karakter semacam ini terutama dimiliki oleh komunitas pesantren
yang tidak mudah tergoda oleh pemerintah kolonial yang hendak menjajah baik
secar fisik maupun pengetahuan. Karena itu pembentukan mental atau karakter
pribadi yang kuat seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan islam ditengah
arus globalisasi budaya, politik, ekonomi yang kian mengamcam akhir-akhir ini.
C.
Ruang
Lingkup dan Sumber Pendidikan Karakter dalam Islam
Konsep
pendidikan islam pada dasarnya meliputi semua kehidupan manusia.Ia tidak hanya
menenkankan dan mementingkan aspek-aspek keagamaan seperti akidah (keyakinan),
ritual (ibadah), dan akhlak saja, melainkan aspek-aspek kehidupan lain seperti
bidang sosial, politik, kebudayaan, kesehatan, sejarah, eksakta, dan lainya.
Pendidikan islam juga meliputi aspek jasmani, rohani, mental dan spiritual, serta
aspek dunia dan ukhrowi.
Cakupan
ruang lingkup pendidikan islam yang luas dan menyeluruh ini dikarenakan sumber
pembelajaran tidak terbatas pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist serta tradisi
kesejarahan islam. Melainkan juga realitas kehidupan dunia yang profan
sekaligus manifestasi ayat-ayat kauniyah yang diciptakan allah.
Nabi
Muhammad SAW saat menerima wahyu pertamanya dengan perintah membaca (QS.Al-‘Alaq ayat 1)
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan
,
Ayat
tersebut merupakan intruksi Allah secara tak langsung merujuk pada maf’ul bih (objek) tertentu. Tetapi berkaitan
langsung dengan nama Allah yang telah menciptakan segala sesuatu. Ini artinya,
semesta kehidupan ini harus dijadikan bahan “bacaan wajib” dalam proses pembelajaran sekaligus bahan
penyelidikan ilmiah pendidikan islam.
Selain
itu, ruang lingkup pendidikan islam juga ditentukan oleh dua fungsi primordial
manusia yang meliputi fungsi peribadatan sebagai hamba Allah dan fungsi
kekhalifahan (khalifah fil’ardh) yang diberi tugas memelihara, memanfaatkan dan melestarikan
alam semesta demi kemaslahatan manusia.
Konsekuensinya,
sumber pembelajaran dalam pendidikan karakter tidak hanya terbatas pada buku
teks wajib sebagaimana yang selama ini menjadi patokan pengajaran di
sekolah-sekolah, melainkan juga menggunakan resource learning (sumber
pembelajaran) yang ada disekitar lingkungan peserta didik. Umpamanya, sekolah
yang berdiri ditengah perkampungan masyarakat tani bisa dan harus menggunakan
kehidupan lingkungan sekitar sebagai sumber pembelajaran. Sawah, ladang, sistem
irigasi, kesulitan petani, mahalnya harga pupuk, dan turunya hasil panen bisa
menjadi bahan pembelajaran di kelas. Sumber-sumber pembelajaran lokal semacam
ini diantaranya akan memupuk peserta didik untuk menemukan karakter budaya
bangsanya sendiri dalam dirinya.
D.
Tujuan Pendidikan Berkarakter
Islam
Pendidikan islam menyadari sepenuhnya bahwa,
selain menganggap dirinya sebagai proses, ia memiliki tujuan-tujuan
fundamental. Secara umum pendidikan seharusnya mempersiapkan manusia agar
memiliki kepribadian yang kuat dan
kecakapan dalam hidup ditengah aneka perubahan dan aneka kemungkinan
perkembangan zaman.
Dalam pelaksanaanya, tujuan pendidikan karakter
dalam islam ini harus didasarkan pada dua asas hakikat primordial manusia:
yakni sebagai “pribadi
spiritual”sekaligus
“pribadi
sosial”
Pertama-tama manusia diciptakan untuk beribadah
kepada Allah. Allah berfirman dalam QS. Adz-Dzariyaat ayat 56, yanag berbunyi
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.
Menyembah
kepada Allah berarti penyerahan diri secara total hamba Allah yang telah
menciptakan seluruh alam semesta. Termasuk kenyataan dunia global ini adalah
kuasa cipta-nya.
Setiap
manusia di dunia dikaruniai akal dan kehendak apakah akan menggunakan
globalisasi untuk keburukan manusia atau memanfaatkanya untuk kemaslahatan
kehidupan bersama dan mempertebal ketakwaan. Bagi umat islam sikap yang kedua
ini dilandasi oleh kesadaran bahwa tidak ada yang lebih besar dan lebih kuasa
selain Allah. Dan hanya Allah yang layak kita sembah karena kebesaran dan
keagungan-Nya serta kekuatan yang diberikan kepada manusia untuk menghadapi
tantangan dunia. Sikap penyerahan diri total ini adalah karakter manusia adalah
karakter sebagai “pribadi spiritual”. Menjadi “pribadi spiritual” adalah
karakter manusia muslim yang tak mudah berputus asa dan apalagi menyerah.
Dalam tradisi islam, selain sebagai pribadi spiritual,manusia
sesungguhnya adalah pribadi sosial karena fungsinya sebagai khalifah (pemimpin)
manusia di bumi. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30, Allah memberikan
jabatan khalifah kepada manusia ini melalui kisah Nabi Adam.
( lah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Kisah ini memperlithatkan bahwa tugas kekhalifahan diberikan Allah
kepada makhluk yang tidak sekedar fasih melafalkan pujian ke pada-Nya
seperti halnya malaikat. Makhluk malaikat memang diciptakan untuk tugas
demikian. Tetapi manusua diciptakan untuk suatu tugas baik yang lebih besar, yakni mengemban dua tugas
sekaligus, baik sebagai hamba maupun sebagai agen yang melakukan praksis sosial
di bumi. Tugas manusia adalah mengumandangkan ayat-ayat Allah, nilai-nilai
kebenaran dimuka ”bumi manusia”.
Dalam islam, fungsi ini masih dilengkapi oleh kehadiaran islam
sendiri sebagai rahmat bagi seluruh semesta (rahmatan lil alamin)
sehingga tugas primoedial manusia adalah mewujudkan kehidupan masyarakat yang
damai dan penuh rahmat bagi semua. Dengan kata lain, sebagai khalifah fil
ardh, manusia sesungguhnya adalah subjek berkesalehan sosial.
Pada dasarnya, tujuan pendidikan islam tidak terlapas dari prinsip-prinsip
pendidikan yanng bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini
ada lima prinsip dalam pendidikan islam,yakni:
1)
Prinsip
integrasi (tauhid). Prinsi ini memandang adamya wujud kesatuan dunia-akhirat.
Oleh karena pendidikan akan meletakan porsi yang seimbang untuk mencapai
kebahagian dunia sekaligus di akhirat.
2)
Prinsip
keseimbangan. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip integrasi.
Keseimbangan yang proporsional antara muatan ruhaniah dan jasmaniah, antara
ilmu murni dan ilmu terapan, antara teori dan praktik, dan anrata nilai yang
menyangkut akidah, syariah, dan akhlak.
3)
Prinsip
persamaan dan pembebasan. Pendidikan islam adalah suatu upaya untuk membebaskan
manusia dari belenggu nafsu dunia menuju pada nilai-niali tauhid yang bersih
dan mulia. Manusia dengan pendidikan diharakan bisa terbebas dari belenggu
kebodohan, kemiskinan, dan kejumudan.
4)
Prinsip
kontinuitas dan berkelanjutan. Prinsip ini mendasari konsep pendidikan
sepanjang hayat (long life education). Sebab, dalam islam belajar adalah
kewajiban yang tidak boleh berhenti. Seruan membaca dalam Al-Qur’an merupakan
perintah yang tak kebal batas waktu, demikian juga tak kenal batas objek
kajian. Dengan menuntut ilmu secara terus-menerus dan mencakup aspek yang luas,
maka murid akan tumbuh kesadaran diri dan lingkunganya. Dan yang lebih penting
adalah kesadaran akan kebesaran Tuhan.
5)
Prinsip
kemaslahatan dan keutamaan. Prinsip ini dalah turunan dari konsep tauhid,
keseimbangan, persamaan, dan kebebasan. Pendidikan islam harus berprinsip bahwa
ilmu harus dimanifestasikan dalam gerak langkah manusia, dalam praksis sosial
untuk kemaslahatan hidup manusia dan keutamaanya.
Melalui prinsip-prinsip inilah sesungguhnya kita bisa menurunkan
rumusan mengenai tujuan pendidikan islam yang berorientasi pada pembentukan
karakter peserta didik.
E.
Akibat
Pendidikan tanpa Berkarakter Islam
Secara
historis pengaruh kolonialisme harus diakui ikut mempengaruhi watak pendidikan
kita. Ini terutama terlihat dari segi pendidikan kita yang hanya mengutamakan
prestasi material dan keunggulan intelektual yang mendorong peserta didik
hanyut dalam sikap hidup yang serba materialistik dan individualistik. Ditambah
lagi gaya hidup yang serba kebarat-baratan yang dipengaruhi oleh globalilasi
budaya sekarang ini semakin dalam mengikis habis karakter pendidikan yang
mandiri dan berpegang teguh pada nilai-nilai budaya dan ajaran agama sendiri.
Menurut
Mochtar Buchori, runtuhnya sistem pendidikan di Indonesia mulai terjadi pada
tahun 1963 ketika kebebasan berfikir dalam lembaga pendidikan sedikit-demi
sedikit digerogoti oleh birokrasi pendidikan yang waktu itu mulai berwatak
politis. Sejak 1978 muncul suasana yang restriktif, dimana birokrasi pendidikan
menentukan segala-galanya dalam kehidupan pendidikan di Indonesia. Sejak saat
itu para guru dan petugas-petugas pendidikan lainya merosot derajatnya, menjadi
sakedar pelaksana dari segala sesuatu yang telah diputuskan oleh birokrasi.
Guru sebagai tokoh yang mampu melihat ke depan
sedikit demi sedikit hilang dari kehidupan sekolah. Yang muncul
kemudian, tegas Buchori , adalah guru yang bingung, guru yang ketakutan, guru
yang dangan mudah dapat digiring oleh kekuatan politik..” Sedikit demi sedikit
sistem pendidikan telah kehilangan wataknya sebagai sesuatu kekuatan kultural
(cultural force). Sistem pendidikan kita mengalami degradasi.
Padahal
jauh sebelumnya bangsa ini memiliki sistem pendidikan yang bisa dibanggakan.
Pada zaman kolonial, kita pernah melahirkan suatu sistem pendidikan yang
memiliki nasionalisme dan patriotisme
yang tinggi. Begitu pula zaman jepang, sistem revolusi fisik sampai
tahun lima puluhan dimana sistem pendidiksn kita memiliki ketahanan, keluwesan,
dan pengabdian yang tinggi. Tak mengherankan bila pada periode ini melahirkan
tokoh-tokoh nasional seperti Dr. Sutomo, Bung Karno,dan Bung Hatta yang memiliki ketangguhan,
samangat dan keberanian.
Masa-masa
dekade dalam dunia pendidikan kita berlangsung sedemikian dalam di masa
pemerintahan Orde Baru yang bahkan berlanjut terus hingga masa reformasi. Ini
ditandai oleh batapa gelisahnya para pakar pendidikan kita yang menyasikan
program pendidikan nasional selama ini tak mampu membentuk karakter para
peserta didik. Salah satu gejala lemahnya pendidikan karakter di lingkungan
kita adalah banyak siswa yang tergoda oleh gaya hidup hura-hura. Biasanya
mereka terpengaruh oleh gambaran sikap dan perilaku sosial di media masa baik
TV, majalah maupun internet lalu secara latah menirunya dalam praktek kehidupan
sehari-hari, seolah-olah citra dalam media masa itu menggambarkan perilaku yang
baik dan beradab. Padahal belum tentu perilaku tersebut sesuai dengan
nilai-nilai budaya bangsa yang pantas ditiru. Contoh lainya adalah
contek-mencontek dan tawuran antar pelajar. Dalam skala yang besar, perilaku
semacam ini pada akhirnya akan ikut membentuk karakter siswa dalam pergaulan
hidup di masa-masa mendatang saat mereka memasuki dunia sosial yang lebih
nyata.
Belakangan
ini semakin nyata bahwa pendidikan yang tanpa karakter ini menghasilkan
pribadi-pribadi terpelajar namun perilakunya seperti kaum primitif yang tak
mengenal peradaban. Untuk mengejar kesejahteraan material, orang-orang terdidik
ini justru memperolehnya dengan jalan korupsi dan manipulasi. Banyak pejabat
publik yang seharusnya melayani masyarakat justru tersangkut dalam kasus
penggelapan dana yang diperuntukan bagi publik. Banyak politisi yang seharusnya
menyalurkan aspirasi rakyat justru memanipulasi suara rakyat. Banyak pula para
pendidik yang mengajar atau mubaligh yang berceramah namun hanya diperuntukan
bagi orang lain bukan untuk menata dirinya sendiri.
Demikian
pula para intelektual yang dilahirkan di sekolah-sekolah atau perguruan
tinggi-perguruan tinggi. Semakin banyak intelektual yang telah kehilangan
fungsi keintelektualisanya. Ini karena, mereka telah terjebak pada perilaku
yang berfikir dan bertindak demi kepentingan pribadi dan kelompok. Kaum intelektual yang merupakan
hati nurani bangsa dan membaktikan ilmu dan hidupnya untuk berfikir demi
kepentingan umum, justru sebaliknya, mereka yang berfikir keras untuk
melanggengkan kekuasaanya atau berkorupsi sebesar-besarnya demi kenikmatan
pribadi bukan lagi sebagai intelektual.
Fakta
yang terjadi di negeri ini, orang yang kebetulan memiliki posisi di
pemerintahan atau lembaga lain tidak sedikit yang telah kehilangan
intelektualitasnya. Sering mereka mengingkari makna akuntabilitas, yakni tanpa
mau mengembalikan kepercayaan yang diberikan rakyat untuk kebaikan rakyat.
Kepercayaan rakyat justru digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Di
sisi yang lain, banyak diantara komponen bangsa yang telah terjebak dalam
sekat-sekat parokial (kewilayahan) dan kepentingan sempit lainya. Berbagai
konflik pun muncul untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing.
Pendek
kata, pendidikan tanpa karakter telah melahirkan pribadi-pribadi yang hipokrit
Dalam
hadis ini, menjelaskan bahwa apabila dalam pendidikan berkarakter ke empat pilar ini dapat berjalan maka dunia
ini akan aman.
قال النبي صلى الله عليه وسلم: قوام
الد نيا بأربعة اشياء: او لها بعلم العلماء والثانى بعدل الأ مراء والثالث بسخاوة
الأغنياء والرابع بدعوة الفقراء ولو لا دعاء الفقراء لهلك الأ غنياء ولوعدل
الأمراء لأ كل بعض الناس بعضا كما يأ كل الذنب الغنم (الحديث)
Artinya:“Berdiri
tegaknya dunia dengan empat hal: 1) dengan ilmu para ulama (guru) 2) dengan
adilnya pemimpin, 3) dengan murahnya agniya (orang kaya), 4) dengan do’anya
orang fakir. Jika bukan / tidak karena ilmunya ulama (guru) maka rusaklah
orang-orang bodoh, dan jika bukan karena murahnya orang kaya maka rusaklah
orang-orang fakir, dan jika bukan karena do’anya orang fakir maka rusaklah
orang kaya, dan jika tidak dengan adilnya pemimpin maka manusia satu sama lain
akan saling tindas dan binasakan / saling terkam, seperti serigala menerkam
kambing”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Pendidikan berkarakter berarti sangat penting karena menanamkan
karakter tertentu sekaligus memberikan humus atau lingkungan kondusif agar
peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani kehidupan.
Disini pendidikan karakter akan dianggap berhasil bila seorang murid atau
peserta didik tidak hanya memahami pendidikan nilai sebagai bentuk pengetahuan,
namun juga menjadikanya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup pada
nilai-nilai tersebut.
Pada
dasarnya, tujuan pendidikan berkarakter islam tidak terlapas dari
prinsip-prinsip pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai Al-Qur’an dan
Hadist.
Salah satu gejala lemahnya pendidikan
karakter di lingkungan kita adalah banyak siswa yang tergoda oleh gaya hidup
hura-hura. Biasanya mereka terpengaruh oleh gambaran sikap dan perilaku sosial
di media masa baik TV, majalah maupun internet lalu secara latah menirunya
dalam praktek kehidupan sehari-hari, seolah-olah citra dalam media masa itu
menggambarkan perilaku yang baik dan beradab. Padahal belum tentu perilaku
tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang pantas ditiru. Contoh
lainya adalah contek-mencontek dan tawuran antar pelajar. Dalam skala yang
besar, perilaku semacam ini pada akhirnya akan ikut membentuk karakter siswa
dalam pergaulan hidup di masa-masa mendatang saat mereka memasuki dunia sosial
yang lebih nyata.
Pendek
kata, pendidikan tanpa karakter telah melahirkan pribadi-pribadi yang hipokrit.
Daftar Pustaka
Tim
Direktorat Pendidikan Madrasah. Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam.
Direktorat Pendidikan Madrasah Kementrian Agama 2010.
Warid,
Khan, Achmad, M. Ag. 2002. Membebaskan Pendidikan Islam. Yogyakarta: CV. Adipura.
An-Nahlawy, abd. Rahman. 1992. Prinsip-prinsip dan Metode
Pendidikan Islam. Jakarta : CV Diponegoro.
Al-Attas, Sayyed Naquib. 1994. Konsep Pendidikan dalam Islam.
Bandung : Mizan.
Arif, Arifudin. 2008. Pengantar
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kultura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar